Menurut hasil pemeringkatan Reporters Without Borders (RSF) pada tahun 2022, indeks kebebasan pers di Indonesia menurun dari peringkat ke-113 dengan nilai 62,60 pada 2021 turun menjadi 117 dari sempurna 180 negara dengan nilai 49,27.

Disisi lain, kekerasan kepada jurnalis meningkat. Data dari Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) menonjolkan bahwa semenjak 2006 hingga 2023 per Bulan April lalu terdapat 986 kasus kekerasan pada jurnalis Indonesia. Sempurna laporan dari lima tahun sebelumnya, merupakan pada tahun 2022 sebanyak 60 kasus, tahun 2021 sebanyak 43 kasus, tahun 2020 sebanyak 84 kasus, dan tahun 2019 sebanyak 58 kasus. Sempurna laporan yang diterima oleh AJI per Bulan April tahun 2023 berjumlah 31 kasus.

Pelbagai Kekerasan yang Dialami Jurnalis Indonesia

Menurut data dari AJI, rekapitulasi kekerasan kepada jurnalis Indonesia pada 2023 permulaan dibedakan menjadi sembilan kasus pantas jenisnya. Terdapat tiga tipe kekerasan dengan jumlah lebih dari tiga kasus per April 2023, merupakan teror dan intimidasi sebanyak 7 kasus, kekerasan jasmaniah sebanyak 6 kasus, dan serangan komputerisasi sebanyak 5 kasus.

Data menyatakan bahwa kekerasan seksual kepada jurnalis wanita masih terjadi. Dalam bet 10 ribu buku yang diterbitkan oleh AJI dengan judul “Serangan Meningkat Otorianisme Menguat Laporan Kondisi Keamanan Jurnalis Indonesia 2022”, terdapat salah satu riset terupdate yang dikerjakan oleh PR2Media dan AJI Indonesia. Mereka mengerjakan survei terhadap jurnalis perempuan dari 34 provinsi di Indonesia pada akhir tahun 2022. Akhirnya, sebanyak 82,6% (704) responden pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang karier jurnalistik mereka.

Merespons kasus kekerasan seksual kepada jurnalis perempuan, Dr. Nurul Hasfi selaku Ketua Departemen sekalian Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UNDIP ikut serta mempersembahkan pendapatnya. Menurutnya, salah satu penyebab kekerasan seksual masih terjadi yaitu sebab tradisi patriarki di Indonesia masih tergolong tinggi. Nurul juga menekankan bahwa dilema ketidaksetaraan gender justru lebih mencolok diperbandingkan kekerasan seksual.

“Ketidaksetaraan gender itu ada di kepemimpinan di jurnalis yang didominasi laki-laki, jumlah jurnalis perempuan di Indonesia berdasar data AJI setau aku 10 persen dari jurnalis laki-laki. Newsroom belum ramah gender terlebih di media-media kecil. Profesi jurnalis perempuan masih dibedakan, misal pembawa acara seolah profesi jurnalis perempuan, sementara pemred untuk jurnalis laki-laki,” ungkap Nurul.

UU ITE masih Menjadi Pro-Kontra

Undang-Undang perihal Berita dan Transaksi Elektronik telah lama menjadi pro dan kontra sebab terdapat sebagian pasal karet. Salah satunya yaitu pasal (3) yang berbunyi, “Tiap-tiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membikin bisa diaksesnya Berita Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang mempunyai bobot penghinaan dan/atau pencemaran nama bagus.”

Walaupun merugikan jurnalis, UU ITE susah untuk direvisi sebab publik tak mempunyai posisi cukup kuat dalam menawar pelaksanaan pembuatan UU hal yang demikian. Berdasarkan Nurul, alasan lain yang membikin UU ITE ini susah untuk direvisi yaitu sebab UU ITE juga masih diperlukan. Secara di era teknologi dunia maya yang ketika ini bisa menjadi ruang untuk memproduksi ujaran kebencian (hate speech) dan hoax.

Nurul menambahkan bahwa sebetulnya dilema UU ITE ini juga disebabkan tarik menarik kepentingan perihal banyak hal dan menjadi keadaan sulit klasik. Pihak pro akan mengatakan bahwa orang yang mengerjakan pencemaran dan penghinaan melewati dunia maya sepatutnya untuk dikendalikan dan dikasih hukuman. Disisi lain, pihak kontra akan menolak hal itu sebab bagi mereka mengapa dilema pencemaran nama bagus wajib hingga masuk penjara? Harus permintaan maaf telah cukup. Kemudian, adanya UU ITE juga memegang kebebasan berekspresi dan demokrasi.

“UU ITE seringkali tajam kebawah (ke publik) dan tumpul ke atas (ke elite/pengusaha/ pemerintah). Publik menjadi korban,” imbuh Nurul.

AJI Indonesia mencatat setidaknya ada 14 wartawan dan satu media massa yang dilaporkan memakai UU ITE selama tahun 2019-2021 lalu. Ketua AJI Kota Semarang, Aris Mulyawan ikut serta memberikan pendapatnya berkaitan UU ITE yang diaplikasikan untuk melaporkan jurnalis.

“Gak dapat dong, soalnya seandainya dilema jurnalis lewatnya Dewan Pers sama KUHP, bukan UU ITE. Harusnya slot habanero seandainya ada sengketa pemberitaan dituntaskan via mekanisme yang telah dikuasai UU No.40 tahun 1999,” ujar Aris.

Mengutip dari situs sah dewanpers.or.id, dalam pasal (4) Undang-Undang No.40 Tahun 1999 perihal Pers, diucapkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara; kepada pers nasional tak dikenakan penyensoran; pembredelan atau pelarangan penyiaran; untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional memiliki hal mencari, mendapat, dan menyebarluaskan gagasan dan isu; dan hak tolak sebagai wujud pertanggungjawaban pemberitaan. Diceritakan bahwa jaminan kepada kebebasan pers mempunyai kausalitas dengan perlindungan wartawan.

Tetapi, pada kenyataannya masih terdapat sebagian pasal yang dianggap mengancam keselamatan jurnalis. Sejumlah undang-undang diaplikasikan untuk menghalangi kebebasan berekspresi dan kebebasan pers, diantaranya UU Nomor 1 Tahun 1946, UU ITE, Regulasi Pemerintah No.71 Tahun 2019 dan Regulasi Menteri Kominfo 5/2020 perihal Penyelenggaraan Metode Elektronik Privat, UU No 1 Tahun 2023 perihal Kitab Undang-Undang Undang-undang Pidana serta UU No.6 Tahun 2023 perihal Penetapan Regulasi Pemerintah Substitusi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 perihal Cipta Kondisi.

Berdasarkan Kesejahteraan Jurnalis Indonesia

Menurut survei AJI, mereka menjumpai adanya jurnalis yang mengalami pemotongan gaji, gaji di bawah Terutama Minimum Kabupaten/Kota (UMK), tak mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR) secara penuh, pun ada yang tak mendapatkan THR, dan tak mendapatkan jaminan sosial energi kerja. Melihat ini menonjolkan bahwa keadaan kesejahteraan jurnalis menjadi satu dilema yang wajib diperjuangkan bersama. Secara, AJI mengucapkan bahwa bayaran pantas bagi jurnalis masih jauh dari kemauan terlebih jurnalis di kawasan Jawa Tengah.

Merespon hal ini, Nurul menonjolkan keprihatinannya. Menurutnya, hal ini menjadi komponen dari buruknya industri media di Indonesia. Media artinya sedang tak sehat secara ekonomi yang kesudahannya berimbas pula pada menurunnya kwalitas jurnalisme.

Janji dari situs romalteamedia.com, pada tahun 2019 lalu setidaknya ada 29 media cetak di Indonesia yang pailit sebab tergantikan oleh media online. Sepuluh diantaranya yaitu Tabloid BOLA dan Bola Vaganza, Tabloid Cek & Ricek, Rolling Stone Indonesia, Majalah HAI, Majalah Kawanku, Majalah GoGirl, Cosmo Girl Indonesia, Esquire Indonesia, For Him Magazine Indonesia (FHM), dan Maxim Indonesia.

Upaya Aliansi Jurnalis Indonesia

Merespons keadaan kesejahteraan jurnalis dan kebebasan pers yang masih minim, AJI mengerjakan pembelaan melewati bermacam sistem. AJI menemani korban kekerasan, mengerjakan penguatan kapasitas para jurnalis, dan mendesak stakeholder untuk turut serta memberikan perlindungan kepada kebebasan pers.

Aris mengucapkan bahwa AJI Kota Semarang mengerjakan pengawasan di Jawa Tengah. Kemudian, mereka mendesak perusahaan media untuk seketika membayar bayaran jurnalis, karena nantinya kesejahteraan jurnalis yang belum optimal juga memberi pengaruh kwalitas karya jurnalistik.

Termasuk AJI Indonesia bersama lebih dari 100 pemerintah, perusahaan, dan organisasi penyokong media membikin janji sah untuk melindungi kebebasan media di semua dunia. Laporan atas janji bersama (Media Freedom Cohort Findings Report) diluncurkan selama KTT Untuk Demokrasi ke-2 yang berlangsung 27-29 Maret 2023 lalu.

hal yang demikian memberikan peta jalan konkret untuk memajukan tiga bidang prioritas slot bet 100 Kebebasan Media, antara lain; (1) melindungi keselamatan dan keamanan jurnalis; (2) memajukan kebebasan berekspresi; (3) memperkuat media yang independen dan berbagai

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *